Sabtu, 24 Juni 2023

Sejarah Desa Kolam Deli Serdang Sumatera Utara


Desa Kolam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kolam merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Penduduk Kampung Kolam terdiri dari berbagai macam suku. Suku Batak, Jawa, Melayu, dan Karo merupakan penduduk yang mendiami daerah Kampung Kolam. Mayoritas penduduk Kampung Kolam adalah suku Jawa. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani yang menggarap tanah Perkebunan Nusantara (PTPN) IX , namun selain itu ada juga yang bekerja sebagai pedagang, buruh, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil dan lain sebagainya. Banyaknya suku Jawa yang mendiami Kampung Kolam tidak terlepas dari dibukanya perkebunan tembakau di Deli yang dibuka oleh perusahaan swasta asing yang bekerja sama dengan Kesultanan Deli. Mereka datang sebagai tenaga kerja kuli di perkebunan tembakau. Istilah kuli merupakan istilah khas dari colonial yang bermakna sangat merendahkan para tenaga kerja yang memang sesuai dengan penindasan yang mereka terima. Perkebunan tembakau itu berawal dari seorang Arab Surabaya yang bernama Said Abdullah Bilsagih, yang merupakan ipar dari Sultan Mahmud Perkasa Alam mengajak beberapa pedagang – pedagang Belanda di Jawa dalam tahun 1863 untuk menanam tembakau di Deli, sehingga tuan – tuan J. Nienhuys, Van Der Valk dan Eliot datang ke Deli pada tanggal 7-7-1863. Setelah J. Nienhuys mengirimkan contoh daun tembakau dari Deli ke Rotherdam pada bulan maret 1864, ternyata hasil perkebunan tembakau di Deli menghasilkan daun tembakau berkualitas tinggi dan mendapat sambutan hangat di pasaran Eropa karena mutunya yang sangat baik sebagai pembungkus cerutu. 

Sejak saat itu maka dibukalah perkebunan – perkebunan tembakau di daerah Martubung, Sunggal, Sungai Beras dan Kelupang. Lukman Sinar (1996:25-26). Pada tahun 1866 dibukalah maskapai De Deli Maatschappil perusahaan perkebunan tembakau yang didirikan oleh Jansen, P.W Clemen dan Nienhuys serta Cremer. Awalnya, para pekerja di perkebunan tebakau adalah kuli China. Kuli-kuli perkebunan etnis China umunya berasal dari Swatow (Tiongkok) atau Singapura atau pun orang – orang India Tamil (keling) yang di datangkan dari Penang. Pada awalnya, para pekebun mendapatkan buruh Tionghoa di Singapura, Pinang, atau bahkan dari Deli sendiri dari perantara di daerah selat Malaka yang di bayar per kuli. Kegiatan mengekspor tenaga kerja dilakukan para tuan kebun karena tidak ada penduduk lokal yang mau bekerja di perkebunan milik perusahaan Belanda. Hal itu lah yang membuat orang – orang Melayu dan Karo dianggap sebagi suku pemalas. Kegiatan ekspor tenaga kerja dari luar negeri ini mulai mengalam kesulitan. China mempersulit kedatangan buruh China ke Deli juga pemerintah Inggris yang memberikan syrat - syarat yang berat untuk tingkat kesejahteraan kuli keling, maka para tuan –tuan kebun Belanda mulai melirik suku Jawa sebagai tenaga kerja. Pada tahun 1875 Deli Maatschppij telah mendatangkan tenaga kerja orang Jawa asal bagelen. Sebelum mengambil tenaga kerja dari Jawa ternyata sejak tahun 1870 sudah ada sekitar 150 kuli Jawa yang datang atas kehendak sendiri dari Semarang untuk bekerja di di perkebunan Deli, masih berjumlah beberapa ratus sampai tahun 1890 ketika perkebunan mulai berubah tujuannya. Beralihnya fungsi perkebunan yang awalnya perkebunan tembakau menjadi perkebunan kopi, karet, teh dan kelapa sawit pada tahun 1900 yang hanya mempekerjakan buruh Jawa. Sehingga pada tahun 1911 sudah terdapat lonjakkan besar terhadap jumlah kuli kontrak asal pulau Jawa yang bekerja di perkebunan – perkebunan milik swasta asing . Sebanyak lebih dari 50.000 kuli kontrak di datangkan dari Jawa Tengah untuk bekerja di perkebunan karet. Peret (2010 : 39). Imigrasi jawa cukup besar. Tahun 1951 dan 1952 terdapat hampir 25.000 orang yang datang untuk bekerja diperkebunan, diikuti 41.000 anggota keluarga. Jumlah pendatang per tahun itu kemudian berkurang hingga mencapai beberapa ratus ribu saja, dan naik lagi antara tahun 1963 dan 1965 sampai 55.000. Peret (2010:37). Kedatangan suku Jawa yang begitu banyak disamping bertujuan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan diantaranya ada juga yang datang dengan kemauan sendiri untuk bekerja pada para pedagang-pedagang Tionghoa yang jumlahnya mulai banyak di Sumatera Timur. Para imigran Jawa itu menetap di daerah-daerah antara lahan perkebunan dan pemukiman-pemukiman atau kampung orang Melayu. Sejak kedatangan kuli kontrak asal Jawa ke Smatera Timur pada masa perkebunan sebagian dari mereka yang pulang saat habis kontrak dengan perkebunan tetapi ada juga yang menetap dan beranak cucu di tanah perantauannya. Sehingga lahirlah istilah Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). Suku Jawa kini menjadi salah satu suku mayoritas di Medan dan sekitarnya. Mereka banyak yang tinggal di daerah kota Medan maupun daerah – daerah pinggirian kota yang dulunya merupakan bekas lahan perkebunan seperti halnya daerah Kampung Kolam. Awalnya orang – orang Jawa di Kampung Kolam sebagian besar beragama Islam dan masih melaksanakan kepercayaan turun temurun yang mereka bawa dari daerah asalnya yaitu Pulau Jawa. Kepercayaan yang mereka anut itu sering disebut sebagai Kejawen ada juga yang menganut Iman Hak (IH) yaitu suatu kepercayaan terhadap Sang Hyang Widi sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Iman Hak ini hampir sama dengan kepercayaan orang Batak kepada Ompung Mulajadi Na Bolon. Namun, perubahan besar dari segi agama terjadi pada orang – orang Jawa ini pada tahun 1965 setelah terbongkarnya peristiwa Gerakan 30 September atau yang sering disebut G 30 S di Jakarta. Peristiwa yang membunuh ke-tujuh Jendral Angkatan Darat itu disebut - sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk membrantas gerakan partai haluan kiri itu Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAT) mengundang dukungan masyarakat luas untuk membrantas PKI. Reaksi masyarakat Indonesia tidak terkecuali di Medan dan sekitarnya yang pada saat itu dalam keadaan kacau menuntut agar orang - orang yang terlibat dalam PKI untuk ditangkap dan diadili. Kemarahan rakyat terhadap PKI dituangkan dalam Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) yang berisikan: 1. Pembubaran PKI 2. Pembersihan Kabinet dari Unsur-unsur G30S/PKI